This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, February 23, 2011

Doa untuk Ibu Bapak / Orang Tua

Doa untuk Ibu Bapak / Orang Tua


Sesungguhnya jasa orang tua kita tidak terhitung banyaknya. Ibu kita mengandung selama 9 bulan kemudian melahirkan kita dengan resiko nyawa melayang. Ketika kita masih bayi tak berdaya, mereka beri kita minum dan makanan. Ketika kita buang air, tanpa jijik mereka membersihkan kita dengan penuh cinta. Kita diberi pakaian dan juga pendidikan.

Mereka sabar menghadapi kemarahan kita, rengekan, kenakalan, bahkan mungkin ketika kita masih kecil/balita pernah memukul mereka. Mereka tetap mencintai kita. Jadi jika kita merasa kesal dengan mereka, apalagi jika mereka begitu tua sehingga kelakuannya kembali seperti anak-anak, ingatlah kesabaran mereka dulu ketika menghadapi kita. Bagi yang sudah memiliki anak tentu paham tentang kerewelan anak-anak yang butuh kesabaran yang sangat dari orang tua.

Adakah kita mampu membalasnya? Bahkan seandainya orang tua kita tak berdaya sehingga untuk buang air kita yang membersihkannya, itu tidak akan sama. Orang tua membersihkan kita dengan penuh cinta dan harapan agar kita selamat dan panjang umur. Sementara si anak ketika melakukan hal yang sama mungkin akan merengut dan bertanya kapan “ujian” itu akan berakhir.

Begitulah. Seperti kata pepatah, “Kasih anak sepanjang badan, kasih ibu sepanjang jalan” Tidak bisa dibandingkan.

Oleh karena itu hendaknya kita berbakti pada orang tua kita. Minimal kita mendoakan mereka:

Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak yang mendoakannya. (HR. Muslim)

Jika kita tidak berdoa untuk orang tua kita, maka putuslah rezeki kita:

Apabila seorang meninggalkan do’a bagi kedua orang tuanya maka akan terputus rezekinya. (HR. Ad-Dailami)

Oleh karena itu sebagai anak yang berbakti hendaknya kita senantiasa berdoa untuk ibu bapak kita. Di antara doa-doa untuk orang tua yang tercantum dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:


Robbirhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [Al Israa’:24]

Robbanaghfir lii wa lii waalidayya wa lilmu’miniina yawma yaquumul hisaab

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” [Ibrahim:41]

Robbighfir lii wa li waalidayya wa li man dakhola baytiya mu’minan wa lilmu’miniina wal mu’minaati wa laa tazidizh zhoolimiina illa tabaaro

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” [Nuh:28]

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaat dari ilmu yang kita dapat dengan mengamalkannya setiap hari. Amiin.


http://media-islam.or.id/2008/03/06/doa-untuk-ibu-bapak-orang-tua

Monday, February 21, 2011

Ketika Nasehat Dianggap Celaan

penulis Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Syariah Kajian Utama 15 - April - 2005 16:24:25




Sebenar menyebut-nyebut seseorang dgn sesuatu yg tdk disukai adl haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan utk mencela meremehkan atau menjatuhkan.
Namun bila di dlm penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yg besar bagi kaum muslimin pada umum atau pada sebagian orang khusus mk penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yg haram bahkan sangat dianjurkan.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib krn Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan utk memberi keterangan bukan sekedar sunnah semata.”
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh terhadap suatu pemikiran buku atau individu tertentu serta mentahdzir agar dijauhi dan ditinggalkan orang adl perbuatan dzalim tdk adil dan tdk amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Dengan alasan tersebut ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yg dibeberkan kebid’ahan kesesatan pemikiran baik yg diucapkan maupun yg dituangkan dlm tulisan mereka anggap orang yg menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat zalim mulut kotor dan sebagainya.
Sehingga di sini kita perlu mencermati lbh lanjut apa sesungguh pengertian nasehat dan bagaimana perbedaan dgn ta’yiir .

Pengertian Nasehat
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dlm Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 99 dgn menukil perkataan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah: “Nasehat ialah kalimat yg diucapkan kepada seseorang krn menginginkan kebaikan baginya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dlm hadits Tamim Ad-Dari radhiallahu ‘anhu katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْناَ لِمَنْ قاَلَ ِللهِ وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama ini adl nasehat .” Kami bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk Allah Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta utk para imam kaum muslimin dan awam mereka.”
Hadits ini menerangkan bahwa nasehat itu meliputi seluruh sendi-sendi ajaran Islam Iman dan Ihsan yg telah diuraikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm hadits Jibril ‘alaihissalam dan beliau menamakan semua itu sebagai Ad-Dien .1
Adapun nasehat utk Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntut ada pelaksanaan secara sempurna semua kewajiban yg Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan. Ini pulalah tingkatan al-ihsan. Dengan demikian tidaklah sempurna nasehat utk Allah itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan kewajiban-kewajiban-Nya lurus keyakinan tentang Wahdaniyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikhlaskan niat dlm beribadah hanya kepada-Nya.
Kemudian nasehat utk Kitab-Nya arti beriman kepada kitab tersebut mengamalkan apa yg terkandung di dalamnya. Adapun nasehat utk Rasul-Nya maksud ialah meyakini kenabian mencurahkan segenap ketaatan dlm menjalankan semua perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan nasehat utk muslimin secara umum arti membimbing dan mengarahkan kaum muslimin kepada kemaslahatan mereka.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk nasehat tersebut terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah menjauhkan gangguan dan hal-hal yg tdk disukai yg akan menimpa mereka menyantuni orang2 fakir di antara mereka mengajari orang2 yg jahil dari mereka serta mengembalikan orang2 yg menyimpang dgn cara lemah lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dgn cara yg baik dan rasa cinta serta keinginan utk menghilangkan kerusakan yg ada pada mereka.
Dengan keinginan seperti ini sebagian salafus shalih menyatakan: “Alangkah senang aku jika seluruh manusia taat kepada Allah meskipun dagingku dikerat dgn alat pengerat .”
Inilah sebetul salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai utk saudara apa yg dia cintai utk dirinya.”
Sebetul krn dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan umat menghalau tiap bahaya kesesatan yg akan menimpa mereka. Alangkah tepat ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah risalah yg dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yg telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang2 yg sesat kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yg ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali orang2 yg ‘mati’ dgn Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala . Mencerahkan kembali mata orang2 yg buta dgn cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak korban iblis yg telah mereka hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia alangkah buruk perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif orang2 yg melampaui batas dari dlm Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala ajaran orang2 sesat dan takwil orang2 yg jahil yg telah mengibarkan bendera kebid’ahan melepaskan tali-tali fitnah.
Ahli bid’ah itu berselisih dlm Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus menentangnya. Namun mereka bersatu padu utk meninggalkannya. Mereka berbicara atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentang Kitab-Nya tanpa ilmu . Dan berbicara dgn hal-hal yg mutasyabih2 dari firman Allah ini. Mereka menipu orang2 yg bodoh dgn syubhat yg mereka sampaikan. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yg menyesatkan.”
Bahkan kita lihat pula para ulama yg lain tdk meninggalkan hal ini dan tdk pula menganggap sebagai hujatan atau kecaman apalagi celaan dari orang2 yg membantah ucapan atau pendapat mereka secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan tersebut dgn ucapan yg keji dan tdk beradab. Namun walaupun demikian yg ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut bukan bantahan ilmiah yg dipaparkannya.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan bahwa hal itu krn para ulama sepakat utk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan tentang buku-buku sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah: “Mesti ada di dlm buku-buku ini hal-hal yg bertentangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا

“Maka apakah mereka tdk memperhatikan Al-Qur’an? Jika sekira Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapat pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Jadi semua yg datang bukan dari sisi Allah jelas akan banyak sekali perselisihan di dalamnya. Dan sebalik Al-Qur’an yg mulia ini yg turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tdk ada perselisihan di dalamnya.

Maka membantah pendapat atau pemikiran yg lemah menjelaskan al-haq yg berbeda dgn pemikiran yg lemah tadi dgn dalil-dalil syar’i bukanlah sesuatu yg dibenci oleh para ulama. Sebalik mereka sangat menyukai hal demikian. Mereka juga tdk menganggap sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkan sebagai bagian dari nasehat utk Allah kitab-Nya Rasul-Nya dan utk imam kaum muslimin serta awamnya. Para ulama bahkan sangat keras mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat yg lemah dari seorang ulama.
Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan dlm risalah Al-Farqu baina An-Nashihati wat Ta’yiir ada ulama yg membantah pendapat Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah yg membolehkan jatuh talak tiga sekaligus dlm satu akad. Juga terhadap Al-Hasan rahimahullah yg menyatakan tdk ada ihdad bagi seorang wanita yg ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama lain yg memang disepakati oleh kaum muslimin mereka adl imam-imam pembawa petunjuk.
Sama sekali mereka tdk menyatakan bahwa kritikan terhadap pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap mereka. Bahkan bukan pula aib.
Alangkah tepat perkataan Al-Imam Malik rahimahullah ketika menyatakan: “Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapat kecuali pemilik kubur ini –sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam–.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Kalau kalian dapati dlm kitabku bertentangan dgn Sunnah Nabi mk ambillah Sunnah Nabi dan tinggalkanlah ucapanku.”
Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita utk menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikiran yg sempat terucap maupun yg tertulis. Dan alangkah terbalik keadaan mereka dgn kaum muslimin yg mengaku-aku bermadzhab dgn madzhab para imam tersebut tapi bangkit marah serta kebencian bahkan sesak dada kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapat disalahkan.
Yang lbh parah lagi sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka adl manusia-manusia maksum bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya. mk barangsiapa yg mengkritik tokoh-tokoh berarti menodai kemuliaan dan nama baik para imam tersebut.
Tentang hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masa berdialog dengan kemudian dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Ternyata tokoh tersebut menukil perkataan Al-Imam Sibawaih utk mendukung pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata kepada : “Apakah Sibawaih itu nabi nahwu sehingga harus ma’shum ? Sibawaih keliru tentang Al Qur`an dlm 40 tempat yg tdk kamu pahami juga dia.”
Lebih lanjut lagi beliau rahimahullah menerangkan: “Jika nasehat itu adl suatu hal yg wajib utk kemaslahatan diniah secara umum maupun khusus seperti para rawi yg salah atau dusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: ‘Saya berta kepada Malik Ats-Tsauri Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga– Al-Auza’i rahimahumullah tentang rawi yg tertuduh berkaitan dgn sebuah hadits atau tdk menghafal ?’ Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”
Sebagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Berat bagi saya utk mengatakan si Fulan demikian Si Anu demikian.”3 mk Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam kapan orang yg jahil akan tahu mana hadits yg sahih dan mana yg cacat?”4
Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah dgn berbagai pernyataan yg bertentangan dgn Al-Qur’an dan As-Sunnah atau ahli ibadah yg mengamalkan sesuatu yg menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. mk menerangkan keadaan mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin menjauhi mereka adl wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Sampai ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Seseorang berpuasa shalat dan i’tikaf itu lbh anda sukai atau orang yg berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Jika dia menegakkan shalat i’tikaf mk itu hanya utk diri sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara mk itu adl utk kepentingan kaum muslimin mk ini lbh utama.”
Maka jelaslah bahwa manfaat lbh merata bagi kaum muslimin dan kedudukan sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah dan agama-Nya manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan permusuhan mereka adl wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin..”5
Hal-hal yg diuraikan ini sama sekali tdk bertentangan dgn sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: أَتَدْرُوْنَ ماَ الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قاَلَ: ذِكْرُكَ أَخاَكَ بِماَ يَكْرَهُ

Dari Abi Hurairah bahwasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lbh tahu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dgn sesuatu yg tdk disukainya.”
Seorang mukmin jika dia jujur dlm keimanan mk dia tdk akan benci kalau Anda mengatakan kebenaran yg dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun hal itu memberatkannya.. Namun apabila dia tdk suka dgn kebenaran tersebut berarti iman tdk sempurna dan persaudaraan itupun berkurang senilai dgn kurang iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوْهُ

“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yg lbh patut mereka cari keridhaannya.”
Maka jelaslah bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasehat utk kaum muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir yg diharamkan.
Sudah masyhur dlm buku-buku yg membahas tentang As-Sunnah atau aqidah melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasa tdk berlaku ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka memaksudkan ada pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau cacat kejelekan ataupun kesesatan ahli bid’ah.6
Dan dalil yg menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan bahwa semua terbagi dua:
Yang pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan amar ma’ruf nahi munkar yg ada dlm Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana telah kita kemukakan pada pembahasan sebelum .
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an As-Sunnah dan ijma’ umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adl nasehat yg termasuk ajaran Islam.7
Dan termasuk dlm rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak manusia utk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkan dlm kehidupan sekaligus men-tahdzir dari bid’ah dan ahli bid’ah.
Adapun dalil khusus yg terkait dlm masalah ini; boleh mengecam mengkritik dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah di antara ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

“Allah tdk menyukai ucapan buruk dgn terang kecuali oleh orang yg dianiaya.”
Ayat ini meskipun berkaitan dgn hak tamu yg dilanggar oleh tuan rumah sehingga boleh bagi tamu utk menyebutkan kejelekan tuan rumah dlm hal ini lebih-lebih berlaku pula terhadap orang2 yg menyebarkan kebid’ahan.8
Adapun di dlm As-Sunnah banyak pula disebutkan hadits-hadits yg menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang2 yg melakukan kerusakan sebagai peringatan agar manusia menjauhinya. Di antara ialah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

أَنَّ عاَئِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهاَ أَخْبَرَتْهُ قاَلَتْ: اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ: ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَةِ أَوِ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ. قُلْتُ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ الَّذِي قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ الْكَلاَمَ؟ قَالَ: أَيْ عاَئِشَةُ، إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقاَءَ فُحْشِهِ

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan: Ada seseorang minta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara dlm kabilahnya.”
Ketika dia masuk beliau melunakkan pembicaraan terhadap orang tersebut. Saya berkata: “Wahai Rasulullah anda mengatakan sebelum demikian kemudian anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?” Beliau berkata: “Hai ‘Aisyah sesungguh sejahat-jahat manusia ialah orang yg ditinggalkan oleh orang lain atau dibiarkan krn takut kekejiannya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan pengertian hadits ini: “Di dlm hadits ini terdapat dalil boleh melakukan mudaaraah9 terhadap orang yg dikhawatirkan kekejian dan boleh meng-ghibah orang fasik yg terang-terangan melakukan kefasikan - dan orang2 yg memang perlu kaum muslimin jauhi.”10
Juga hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha ketika dia meminta nasehat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn siapa dia sebaik menikah saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan mk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصاَهُ عَنْ عاَتِقِهِ وَأَمَّا مُعاَوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ ماَلَ لَهُ انْكِحِي أُساَمَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm dia tdk pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah dia miskin tdk punya harta. Menikahlah dgn Usamah bin Zaid.”
Boleh men­jarh ahli bid’ah tersirat dlm hadits ini. Kalau di sini diungkapkan boleh menyebut-nyebut kekurangan seseorang demi kepentingan urusan duniawi secara khusus sebagai nasehat buat shahabiah tersebut mk tentu lbh jelas lagi boleh menyebutkan kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi kemaslahatan kaum muslimin secara umum.11
Di samping itu tdk pula ada keharusan utk menyebutkan kebaikan mereka ketika membantah dan menerangkan ada kesesatan nyata pada pemikiran atau pendapat mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika dita tentang masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama menerangkan hal ini dlm buku-buku mereka adl utk menperingatkan dari kesesatan ahli bid’ah.. kebaikan mereka tdk ada arti dibandingkan dgn kekafiran jika bid’ah itu sampai kepada kekafiran gugur sudah kebaikannya. Adapun kalau bid’ah belum sampai pada tingkat kufur mk dia dlm keadaan bahaya.. 12
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang2 kafir yg mendustakan para Rasul Allah ‘alaihimussalam yg datang kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan kekafiran pendustaan dan penghinaan mereka terhadap para Rasul tersebut kemudian bagaimana Dia membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dlm Al Qur`an dan sama sekali tdk ada penyebutan kebaikan mereka. Karena tujuan utama adl agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yg mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan orang2 Yahudi dan Nashara dgn sifat yg sangat buruk bahkan mengancam mereka dgn ancaman yg sangat hebat dan sama sekali tdk menyebutkan kebaikan mereka yg mereka runtuhkan krn kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pula men-tahdzir umat dari ahli ahwa` tanpa memperhatikan kebaikan yg ada pada mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah sedangkan bahaya mereka jauh lbh hebat dan lbh besar dibandingkan kemaslahatan yg diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتاَبَ مِنْهُ آياَتٌ مُحْكَماَتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتاَبِ وَأُخَرُ مُتَشاَبِهاَتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ ماَ تَشاَبَهَ مِنْهُ ابْتِغآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغآءَ تَأْوِيْلِهِ وَماَ يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّناَ وَماَ يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو الأَلْباَبِ

“Dia-lah yg menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Di antara ada ayat-ayat yg muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan yg lain mutasyabihat . Adapun orang2 yg dlm hati condong kepada kesesatan mk mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yg mutasyabihat utk menimbulkan fitnah dan utk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tdk ada yg mengetahui ta’wil melainkan Allah. Dan orang2 yg mendalam ilmu berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yg mutasyabihat semua itu dari sisi Rabb kami.” Dan tdk dapat mengambil pelajaran melainkan orang2 yg berakal.”
Kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka jika kamu melihat orang2 yg mengikuti apa yg mutasyabih dari Al-Qur’an merekalah yg disebut oleh Allah. mk jauhilah mereka!”
Dan kita maklum bahwa ahli bid’ah itu tdk kosong dari kebaikan. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tdk memperhatikan dan tdk menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membandingkan para shahabat dgn orang2 Khawarij:

يَخْرُجُ فِيْكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِياَمَكُمْ مَعَ صِياَمِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجاَوِزُ حَناَجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَماَ يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yg kalian meremehkan shalat kalian bila dibandingkan dgn shalat mereka puasa kalian dgn puasa mereka amalan kalian dgn amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tapi tdk melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti lepas anak panah dari sasaran13.”
Telah kita ketahui pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka14 seburuk-buruk bangkai yg terbunuh di kolong langit. Arti mereka ini lbh berbahaya bagi kaum muslimin daripada selain mereka baik itu dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Mengapa demikian? Jawab jelas krn mereka bersungguh-sungguh berusaha membantai kaum muslimin yg tdk sejalan dgn mereka. Mereka halalkan darah dan harta kaum muslimin lain bahkan nyawa anak-anak kaum muslimin15. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yg tdk sefaham dgn mereka dlm keadaan mereka menganggap semua itu adl ibadah utk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala krn parah kebodohan dan kesesatan mereka..”
Terakhir janganlah kita terjerumus dlm kepalsuan orang2 Yahudi. Mereka berselisih dlm urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan bersatu padu. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah hal ini dlm firman-Nya:

تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعاً وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى

“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.”
Dan ingat salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adl sebagaimana firman-Nya:

كَانُوْا لاَ يَتَناَهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ

“Mereka satu sama lain selalu tdk melarang tindakan munkar yg mereka perbuat.”
Oleh krn itu apabila kita lihat ada orang yg membantah pendapat atau pemikiran yg menyimpang dari Al Qur`an dan As-Sunnah baik dlm masalah fiqih atau pernyataan-pernyataan bid’ah lain mk syukurilah usaha yg dilakukan sebatas kemampuan itu.
Maka ambillah pelajaran wahai orang2 yg berakal.
Wallahu a’lam.


http://blog.re.or.id/ketika-nasehat-dianggap-celaan.htm

Thursday, February 3, 2011

Remaja Islam, Remaja Dakwah


Remaja Islam, Remaja Dakwah
Dakwah? Hmm.. kok kayaknya berat banget kedengarannya ya? Lho, emangnya kenapa? Sebagian teman remaja biasanya denger atau ngucapin kata dakwah terasa sangat berat. Telinga pekak en lidah kelu dan yang terbayang di benaknya pasti urusannya dengan jenggot, kopiah, baju koko, sarung, dan jilbab. Well. Nggak salah-salah amat sih. Cuma nggak lengkap penilaiannya.
Lagian juga terkesan adanya pemisahan antara dakwah dan kehidupan umum, gitu lho. Kesannya kalo dakwah adalah bagiannya mereka yang ada di kalangan pesantren atau anak-anak ngaji aja. Anak-anak nongkrong sih nggak tepat kalo berurusan dengan dakwah. Dakwah kesannya jadi tugas mereka yang hobinya dengerin lagu-lagu nasyid macam Demi Masa-nya Raihan. Bukan tugas anak-anak yang hobinya dengerin lagu-lagu pop macam Terima Kasih Cinta-nya Afgan. Halah, itu salah banget, Bro. Nggak gitu deh seharusnya. Sumpah.

Gini nih, sebenarnya urusan dakwah atau tugas dakwah jadi tanggung jawab bersama seluruh kaum muslimin. Cuma, karena tugas dakwah ini cukup berat dan nggak semua orang bisa tahan menunaikannya, jadinya dakwah secara tidak langsung diserahkan kepada mereka yang ngerti aja. Anggapan seperti ini insya Allah nggak salah. Cuma, kalo dengan alasan seperti ini lalu kaum muslimin yang belum ngerti atau masih awam tentang Islam jadi bebas untuk nggak berdakwah, atau nggak mau terjun dalam dakwah, itu tentu salah, Bro. Why? Karena tetap aja punya kewajiban untuk belajar. Tetap punya kewajiban mencari ilmu. Jadi, nggak bisa bebas juga kan? Malah kalo nekat nggak mau belajar dan nggak mencari ilmu, hal itu dinilai berdosa, man! Bener.

Baginda kita, Rasulullah Muhammad saw. bahkan menyatakan bahwa aktivitas belajar dan mencari ilmu adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dari buaian ibu hingga ke liang lahat. Kalo mencari ilmu itu adalah wajib, berarti bagi yang nggak mencari ilmu selama hidupnya, jelas berdosa dong. Allah Swt. bahkan menjamin orang-orang yang beriman dan berilmu akan diberikan derajat lebih tinggi dibanding orang yang nggak berilmu (apalagi nggak beriman). Firman Allah Swt.:
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Muj?dalah [58]: 11)

Bro, emang bener banget. Urusan dakwah ini sangat erat hubungannya dengan tingkat keilmuan. Dakwah itu jelas membutuhkan ilmu. Jadi, betul kalo dikatakan bahwa tugas berdakwah hanya diberikan kepada mereka yang udah menguasai ilmu agama. Tapi, buat kita yang belum menguasai ilmu agama secara mantap bukan berarti nggak ada kewajiban dakwah. Sebab, rasa-rasanya untuk ukuran sekarang nih, nggak mungkin banget ada kaum muslimin yang nggak ngerti sama sekali tentang Islam. Pasti deh, satu keterangan atau dua keterangan dalam ajaran agama Islam sudah pernah didengarnya dan menjadi pengetahuannya. So, sebenarnya tetap punya kewajiban nyampein dakwah meskipun cuma sedikit yang diketahui. Kalo pengen lebih banyak tahu tentang Islam, ya tentu saja kudu belajar lagi dan mencari ilmu lagi. Sederhana banget kan solusinya? Insya Allah kamu pasti bisa ngejalaninya, asal kamu mau. Yakin deh.

Mengapa dakwah itu wajib?
Jawabnya gini, sebab Islam adalah agama dakwah. Salah satu inti dari ajaran Islam memang perintah kepada umatnya untuk berdakwah, yakni mengajak manusia kepada jalan Allah (tauhid) dengan hikmah (hujjah atau argumen). Kepedulian terhadap dakwah jugalah yang menjadi trademark seorang mukmin. Artinya, orang mukmin yang cuek-bebek sama dakwah berarti bukan mukmin sejati. Bener, lho. Apa iya kamu tega kalo ada teman kamu yang berbuat maksiat kamu diemin aja? Nggak mungkin banget kan kalo ada temen yang sedang berada di bibir jurang dan hampir jatuh, nggak kamu tolongin. Iya nggak sih?

Boys and gals, bahkan Allah memuji aktivitas dakwah ini sebagai aktivitas yang mulia, lho. FirmanNya:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim” (QS Fushshilat [41]: 33)
Dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berdakwah. Seperti dalam firmanNya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125)
Menyeru kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah dari perbuatan munkar merupakan identitas seorang muslim. Itu sebabnya, Islam begitu dinamis. Buktinya, mampu mencapai hingga sepertiga dunia. Itu artinya, hampir seluruh penghuni daratan di dunia ini pernah hidup bersama Islam. Kamu tahu, ketika kita belajar ilmu bumi, disebutkan bahwa dunia ini terdiri dari sepertiga daratan dan dua pertiga lautan. Wah, hebat juga ya para pendahulu kita? Betul, sebab mereka memiliki semangat yang tinggi untuk menegakkan kalimat “tauhid” di bumi ini. Sesuai dengan seruan Allah (yang artinya): “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.” (QS al-Baqarah [2]: 193)

Kini, di jaman yang udah jauh berubah ketimbang di “jaman onta”, arus informasi makin sulit dikontrol. Internet misalnya, telah mampu memberikan nuansa budaya baru. Kecepatan informasi yang disampaikannya ibarat pisau bermata dua. Bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Celakanya, ternyata kita kudu ngurut dada lama-lama, bahwa kenyataan yang harus kita hadapi dan rasakan adalah lunturnya nilai-nilai ajaran Islam di kalangan kaum muslimin. Tentu ini akibat informasi rusak yang telah meracuni pikiran dan perasaan kita. Utamanya remaja muslim. Kita bisa saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa banyak teman remaja yang tergoda dengan beragam rayuan maut peradaban Barat seperti seks bebas, narkoba, dan beragam kriminalitas. Walhasil, amburadul deh!

Itu sebabnya, sekarang pun dakwah menjadi sarana sekaligus senjata untuk membendung arus budaya rusak yang akan menggerus kepribadian Islam kita. Kita lawan propaganda mereka dengan proganda kembali. Perang pemikiran dan perang kebudayaan ini hanya bisa dilawan dengan pemikiran dan budaya Islam. Yup, kita memang selalu “ditakdirkan” untuk melawan kebatilan dan kejahatan.
Sobat muda muslim, Islam membutuhkan tenaga, harta, dan bahkan nyawa kita untuk menegakkan agama Allah ini. Dengan aktivitas dakwah yang kita lakukan, maka kerusakan yang tengah berlangsung ini masih mungkin untuk dihentikan, bahkan kita mampu untuk membangun kembali kemuliaan ajaran Islam dan mengokohkannya. Tentu, semua ini bergantung kepada partisipasi kita dalam dakwah ini.

Coba, apa kamu nggak risih dengan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja? Apa kamu nggak merasa was-was dengan tingkat kriminalitas pelajar yang makin tinggi? Apa kamu nggak kesel ngeliat tingkah remaja yang hidupnya nggak dilandasi dengan ajaran Islam? Seharusnya masalah-masalah model beginilah yang menjadi perhatian kita siang dan malam. Beban yang seharusnya bisa mengambil jatah porsi makan kita, beban yang seharusnya menggerogoti waktu istirahat kita, dan beban yang senantiasa membuat pikiran dan perasaan kita nggak tenang kalo belum berbuat untuk menyadarkan kaum muslimin yang lalai.

Untuk ke arah sana, tentu membutuhkan kerjasama yang solid di antara kita. Sebab, kita menyadari bahwa kita bukanlah manusia super yang bisa melakukan aksi menumpas kejahatan hanya dengan seorang diri. Kalo kita ingin cepat membereskan berbagai persoalan tentu butuh kerjasama yang apik, solid dan fokus pada masalah. Pemikiran dan perasaan di antara kita kudu disatukan dengan ikatan akidah Islam yang lurus dan benar. Kita harus satu persepsi, bahwa Islam harus tegak di muka bumi ini. Kita harus memiliki cita-cita, bahwa Islam harus menjadi nomor satu di dunia untuk mengalahkan segala bentuk kekufuran. Itulah di antaranya kenapa kita wajib berdakwah, Bro. Semoga kamu paham.
Dakwah itu tanda cinta
Bro en Sis, seharusnya kita menyambut baik orang-orang yang mau meluangkan waktu dan mengorbankan tenaganya untuk dakwah menyampaikan kebenaran Islam. Sebab, melalui merekalah kita jadi banyak tahu tentang Islam. Kita secara tidak langsung diselamatkan oleh seruan mereka yang awalnya kita rasakan sebagai bentuk ?kecerewetan’ mereka yang berani ngatur-ngatur urusan orang lain. Padahal, justru itu tanda cinta dari sesama kaum muslimin yang nggak ingin melihat saudaranya menderita gara-gara nggak kenal Islam dan nggak taat sama syariatnya.
Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)
Sobat, dakwah adalah darah dan napas kehidupan Islam. Itu sebabnya, kita yang masih remaja pun dituntut untuk mampu tampil sebagai pengemban dakwah yang handal. Kita khawatir banget, seandainya di dunia ini nggak ada orang-orang yang menyerukan dakwah Islam, bagaimana masa depan kehidupan umat manusia nanti? Jangan sampe Islam dan umat ini hanya tinggal “kenangan”. Yuk, kita kaji Islam biar mantap dan semangat mendakwahkannya. [osolihin: sholihin@gmx.net]

Tuesday, February 1, 2011

FIQH WANITA

FIQH WANITA
WANITA HAID MEMBACA AL-QUR`AN

Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan haram hukumnya wanita haid membaca Al-Qur`an. Manakala Imam Maliki membolehkan membaca beberapa ayat.
Sedangkan menurut Imam Dawud Az-Zahiri, boleh wanita haid membaca Al-Qur`an
(Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hal. 18).

Mengapa timbul perbedaan pendapat ?

Sebab para ulama berbeda dalam menilai hadits dalam masalah ini.

Nabi SAW bersabda,”Tidaklah boleh orang junub dan juga wanita haid membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Sebagian ulama menganggap hadits ini dhaif (lemah) sehingga tidak layak menjadi hujjah (Kifayatul Akhyar, I/77-79; Subulus Salam, I/88).

Sementara itu sebahagian ulama lainnya menganggap hadits itu bukan hadits dhaif.
Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat yang mengharamkan wanita haid membaca Al-Qur`an.

Meskipun sebahagian ulama melemahkan hadits di atas, namun hadits tersebut dianggap hasan (cukup baik) oleh Imam As-Suyuthi, sehingga layak menjadi dalil
(As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 205).

Namun, yang diharamkan adalah jika wanita haid itu semata berniat membaca (qira`ah), sebagai amal ibadah.

Jika, dia tidak meniatkannya sebagai bacaan ibadah, boleh hukumnya membaca Al-Qur`an. Misalnya, membaca Al-Qur`an dengan niat berdzikir, memberi nasehat atau berdakwah, menceritakan kisah, atau menghafal ayat @ belajar.
(As-Sayyid Al-Bakri, I’anatuth Thalibin, I/69).

Hal ini sesuai hadits Nabi,
”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat-niatnya.”
(HR Bukhari dan Muslim)



BOLEHKAH SEORANG WANITA YANG SEDANG HAID MEMBACA AL QUR’AN
(DENGAN HAFALANNYA) ?

Sebagian ulama berpendapat bahawa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:

لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ

“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.”
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)

Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”

Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.”
(Diringkas dari Larangan-larangan Sekitar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)

Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.

Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata,

“Aku datang ke Makkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka baginda bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.”
(Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thawaf di Baitullah.
(Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.


BOLEHKAH SEORANG WANITA YANG SEDANG HAID MENYENTUH MUSHHAF AL QUR’AN ?

Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:

لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)

يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:


لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)

Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)

Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ

“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)


Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.

Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).

Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:

1. Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir(Terj.)]

2. Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)

Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:

الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ

“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis.

Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.

Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam-



maksud“orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min, baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya.

Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:

نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو

“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.”
(riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Sekitar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).

Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.”
(Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)

Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Sekitar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)

Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).

Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.



Ditulis Ustaz Amran Yusoff at 12:35 AM

http://amranbb.blogspot.com/2010/05/fiqh-wanita.html

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More