Monday, February 21, 2011

Ketika Nasehat Dianggap Celaan

penulis Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Syariah Kajian Utama 15 - April - 2005 16:24:25




Sebenar menyebut-nyebut seseorang dgn sesuatu yg tdk disukai adl haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan utk mencela meremehkan atau menjatuhkan.
Namun bila di dlm penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yg besar bagi kaum muslimin pada umum atau pada sebagian orang khusus mk penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yg haram bahkan sangat dianjurkan.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan: “Bahkan hal itu wajib krn Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan utk memberi keterangan bukan sekedar sunnah semata.”
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh terhadap suatu pemikiran buku atau individu tertentu serta mentahdzir agar dijauhi dan ditinggalkan orang adl perbuatan dzalim tdk adil dan tdk amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Dengan alasan tersebut ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yg dibeberkan kebid’ahan kesesatan pemikiran baik yg diucapkan maupun yg dituangkan dlm tulisan mereka anggap orang yg menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat zalim mulut kotor dan sebagainya.
Sehingga di sini kita perlu mencermati lbh lanjut apa sesungguh pengertian nasehat dan bagaimana perbedaan dgn ta’yiir .

Pengertian Nasehat
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata dlm Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 99 dgn menukil perkataan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah: “Nasehat ialah kalimat yg diucapkan kepada seseorang krn menginginkan kebaikan baginya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dlm hadits Tamim Ad-Dari radhiallahu ‘anhu katanya: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْناَ لِمَنْ قاَلَ ِللهِ وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama ini adl nasehat .” Kami bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk Allah Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta utk para imam kaum muslimin dan awam mereka.”
Hadits ini menerangkan bahwa nasehat itu meliputi seluruh sendi-sendi ajaran Islam Iman dan Ihsan yg telah diuraikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm hadits Jibril ‘alaihissalam dan beliau menamakan semua itu sebagai Ad-Dien .1
Adapun nasehat utk Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntut ada pelaksanaan secara sempurna semua kewajiban yg Allah Subhanahu wa Ta’ala bebankan. Ini pulalah tingkatan al-ihsan. Dengan demikian tidaklah sempurna nasehat utk Allah itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan kewajiban-kewajiban-Nya lurus keyakinan tentang Wahdaniyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikhlaskan niat dlm beribadah hanya kepada-Nya.
Kemudian nasehat utk Kitab-Nya arti beriman kepada kitab tersebut mengamalkan apa yg terkandung di dalamnya. Adapun nasehat utk Rasul-Nya maksud ialah meyakini kenabian mencurahkan segenap ketaatan dlm menjalankan semua perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan nasehat utk muslimin secara umum arti membimbing dan mengarahkan kaum muslimin kepada kemaslahatan mereka.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk nasehat tersebut terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah menjauhkan gangguan dan hal-hal yg tdk disukai yg akan menimpa mereka menyantuni orang2 fakir di antara mereka mengajari orang2 yg jahil dari mereka serta mengembalikan orang2 yg menyimpang dgn cara lemah lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dgn cara yg baik dan rasa cinta serta keinginan utk menghilangkan kerusakan yg ada pada mereka.
Dengan keinginan seperti ini sebagian salafus shalih menyatakan: “Alangkah senang aku jika seluruh manusia taat kepada Allah meskipun dagingku dikerat dgn alat pengerat .”
Inilah sebetul salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai utk saudara apa yg dia cintai utk dirinya.”
Sebetul krn dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan umat menghalau tiap bahaya kesesatan yg akan menimpa mereka. Alangkah tepat ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah risalah yg dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yg telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang2 yg sesat kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yg ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali orang2 yg ‘mati’ dgn Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala . Mencerahkan kembali mata orang2 yg buta dgn cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak korban iblis yg telah mereka hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia alangkah buruk perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif orang2 yg melampaui batas dari dlm Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala ajaran orang2 sesat dan takwil orang2 yg jahil yg telah mengibarkan bendera kebid’ahan melepaskan tali-tali fitnah.
Ahli bid’ah itu berselisih dlm Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus menentangnya. Namun mereka bersatu padu utk meninggalkannya. Mereka berbicara atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentang Kitab-Nya tanpa ilmu . Dan berbicara dgn hal-hal yg mutasyabih2 dari firman Allah ini. Mereka menipu orang2 yg bodoh dgn syubhat yg mereka sampaikan. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yg menyesatkan.”
Bahkan kita lihat pula para ulama yg lain tdk meninggalkan hal ini dan tdk pula menganggap sebagai hujatan atau kecaman apalagi celaan dari orang2 yg membantah ucapan atau pendapat mereka secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan tersebut dgn ucapan yg keji dan tdk beradab. Namun walaupun demikian yg ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut bukan bantahan ilmiah yg dipaparkannya.
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan bahwa hal itu krn para ulama sepakat utk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan tentang buku-buku sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah: “Mesti ada di dlm buku-buku ini hal-hal yg bertentangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا

“Maka apakah mereka tdk memperhatikan Al-Qur’an? Jika sekira Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapat pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Jadi semua yg datang bukan dari sisi Allah jelas akan banyak sekali perselisihan di dalamnya. Dan sebalik Al-Qur’an yg mulia ini yg turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tdk ada perselisihan di dalamnya.

Maka membantah pendapat atau pemikiran yg lemah menjelaskan al-haq yg berbeda dgn pemikiran yg lemah tadi dgn dalil-dalil syar’i bukanlah sesuatu yg dibenci oleh para ulama. Sebalik mereka sangat menyukai hal demikian. Mereka juga tdk menganggap sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkan sebagai bagian dari nasehat utk Allah kitab-Nya Rasul-Nya dan utk imam kaum muslimin serta awamnya. Para ulama bahkan sangat keras mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat yg lemah dari seorang ulama.
Ibnu Rajab rahimahullah menukilkan dlm risalah Al-Farqu baina An-Nashihati wat Ta’yiir ada ulama yg membantah pendapat Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah yg membolehkan jatuh talak tiga sekaligus dlm satu akad. Juga terhadap Al-Hasan rahimahullah yg menyatakan tdk ada ihdad bagi seorang wanita yg ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama lain yg memang disepakati oleh kaum muslimin mereka adl imam-imam pembawa petunjuk.
Sama sekali mereka tdk menyatakan bahwa kritikan terhadap pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap mereka. Bahkan bukan pula aib.
Alangkah tepat perkataan Al-Imam Malik rahimahullah ketika menyatakan: “Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapat kecuali pemilik kubur ini –sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam–.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Kalau kalian dapati dlm kitabku bertentangan dgn Sunnah Nabi mk ambillah Sunnah Nabi dan tinggalkanlah ucapanku.”
Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita utk menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikiran yg sempat terucap maupun yg tertulis. Dan alangkah terbalik keadaan mereka dgn kaum muslimin yg mengaku-aku bermadzhab dgn madzhab para imam tersebut tapi bangkit marah serta kebencian bahkan sesak dada kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapat disalahkan.
Yang lbh parah lagi sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka adl manusia-manusia maksum bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya. mk barangsiapa yg mengkritik tokoh-tokoh berarti menodai kemuliaan dan nama baik para imam tersebut.
Tentang hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masa berdialog dengan kemudian dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Ternyata tokoh tersebut menukil perkataan Al-Imam Sibawaih utk mendukung pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata kepada : “Apakah Sibawaih itu nabi nahwu sehingga harus ma’shum ? Sibawaih keliru tentang Al Qur`an dlm 40 tempat yg tdk kamu pahami juga dia.”
Lebih lanjut lagi beliau rahimahullah menerangkan: “Jika nasehat itu adl suatu hal yg wajib utk kemaslahatan diniah secara umum maupun khusus seperti para rawi yg salah atau dusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: ‘Saya berta kepada Malik Ats-Tsauri Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga– Al-Auza’i rahimahumullah tentang rawi yg tertuduh berkaitan dgn sebuah hadits atau tdk menghafal ?’ Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”
Sebagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Berat bagi saya utk mengatakan si Fulan demikian Si Anu demikian.”3 mk Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam kapan orang yg jahil akan tahu mana hadits yg sahih dan mana yg cacat?”4
Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah dgn berbagai pernyataan yg bertentangan dgn Al-Qur’an dan As-Sunnah atau ahli ibadah yg mengamalkan sesuatu yg menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. mk menerangkan keadaan mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin menjauhi mereka adl wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Sampai ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Seseorang berpuasa shalat dan i’tikaf itu lbh anda sukai atau orang yg berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Jika dia menegakkan shalat i’tikaf mk itu hanya utk diri sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara mk itu adl utk kepentingan kaum muslimin mk ini lbh utama.”
Maka jelaslah bahwa manfaat lbh merata bagi kaum muslimin dan kedudukan sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah dan agama-Nya manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan permusuhan mereka adl wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin..”5
Hal-hal yg diuraikan ini sama sekali tdk bertentangan dgn sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: أَتَدْرُوْنَ ماَ الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قاَلَ: ذِكْرُكَ أَخاَكَ بِماَ يَكْرَهُ

Dari Abi Hurairah bahwasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lbh tahu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dgn sesuatu yg tdk disukainya.”
Seorang mukmin jika dia jujur dlm keimanan mk dia tdk akan benci kalau Anda mengatakan kebenaran yg dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun hal itu memberatkannya.. Namun apabila dia tdk suka dgn kebenaran tersebut berarti iman tdk sempurna dan persaudaraan itupun berkurang senilai dgn kurang iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوْهُ

“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yg lbh patut mereka cari keridhaannya.”
Maka jelaslah bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasehat utk kaum muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir yg diharamkan.
Sudah masyhur dlm buku-buku yg membahas tentang As-Sunnah atau aqidah melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasa tdk berlaku ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka memaksudkan ada pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau cacat kejelekan ataupun kesesatan ahli bid’ah.6
Dan dalil yg menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan bahwa semua terbagi dua:
Yang pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan amar ma’ruf nahi munkar yg ada dlm Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana telah kita kemukakan pada pembahasan sebelum .
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an As-Sunnah dan ijma’ umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adl nasehat yg termasuk ajaran Islam.7
Dan termasuk dlm rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak manusia utk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkan dlm kehidupan sekaligus men-tahdzir dari bid’ah dan ahli bid’ah.
Adapun dalil khusus yg terkait dlm masalah ini; boleh mengecam mengkritik dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah di antara ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

“Allah tdk menyukai ucapan buruk dgn terang kecuali oleh orang yg dianiaya.”
Ayat ini meskipun berkaitan dgn hak tamu yg dilanggar oleh tuan rumah sehingga boleh bagi tamu utk menyebutkan kejelekan tuan rumah dlm hal ini lebih-lebih berlaku pula terhadap orang2 yg menyebarkan kebid’ahan.8
Adapun di dlm As-Sunnah banyak pula disebutkan hadits-hadits yg menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang2 yg melakukan kerusakan sebagai peringatan agar manusia menjauhinya. Di antara ialah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

أَنَّ عاَئِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهاَ أَخْبَرَتْهُ قاَلَتْ: اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ: ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَةِ أَوِ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ. قُلْتُ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ الَّذِي قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ الْكَلاَمَ؟ قَالَ: أَيْ عاَئِشَةُ، إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقاَءَ فُحْشِهِ

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan: Ada seseorang minta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara dlm kabilahnya.”
Ketika dia masuk beliau melunakkan pembicaraan terhadap orang tersebut. Saya berkata: “Wahai Rasulullah anda mengatakan sebelum demikian kemudian anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?” Beliau berkata: “Hai ‘Aisyah sesungguh sejahat-jahat manusia ialah orang yg ditinggalkan oleh orang lain atau dibiarkan krn takut kekejiannya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan pengertian hadits ini: “Di dlm hadits ini terdapat dalil boleh melakukan mudaaraah9 terhadap orang yg dikhawatirkan kekejian dan boleh meng-ghibah orang fasik yg terang-terangan melakukan kefasikan - dan orang2 yg memang perlu kaum muslimin jauhi.”10
Juga hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha ketika dia meminta nasehat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn siapa dia sebaik menikah saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan mk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصاَهُ عَنْ عاَتِقِهِ وَأَمَّا مُعاَوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ ماَلَ لَهُ انْكِحِي أُساَمَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm dia tdk pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah dia miskin tdk punya harta. Menikahlah dgn Usamah bin Zaid.”
Boleh men­jarh ahli bid’ah tersirat dlm hadits ini. Kalau di sini diungkapkan boleh menyebut-nyebut kekurangan seseorang demi kepentingan urusan duniawi secara khusus sebagai nasehat buat shahabiah tersebut mk tentu lbh jelas lagi boleh menyebutkan kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi kemaslahatan kaum muslimin secara umum.11
Di samping itu tdk pula ada keharusan utk menyebutkan kebaikan mereka ketika membantah dan menerangkan ada kesesatan nyata pada pemikiran atau pendapat mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah ketika dita tentang masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama menerangkan hal ini dlm buku-buku mereka adl utk menperingatkan dari kesesatan ahli bid’ah.. kebaikan mereka tdk ada arti dibandingkan dgn kekafiran jika bid’ah itu sampai kepada kekafiran gugur sudah kebaikannya. Adapun kalau bid’ah belum sampai pada tingkat kufur mk dia dlm keadaan bahaya.. 12
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang2 kafir yg mendustakan para Rasul Allah ‘alaihimussalam yg datang kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan kekafiran pendustaan dan penghinaan mereka terhadap para Rasul tersebut kemudian bagaimana Dia membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dlm Al Qur`an dan sama sekali tdk ada penyebutan kebaikan mereka. Karena tujuan utama adl agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yg mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan orang2 Yahudi dan Nashara dgn sifat yg sangat buruk bahkan mengancam mereka dgn ancaman yg sangat hebat dan sama sekali tdk menyebutkan kebaikan mereka yg mereka runtuhkan krn kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pula men-tahdzir umat dari ahli ahwa` tanpa memperhatikan kebaikan yg ada pada mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah sedangkan bahaya mereka jauh lbh hebat dan lbh besar dibandingkan kemaslahatan yg diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتاَبَ مِنْهُ آياَتٌ مُحْكَماَتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتاَبِ وَأُخَرُ مُتَشاَبِهاَتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ ماَ تَشاَبَهَ مِنْهُ ابْتِغآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغآءَ تَأْوِيْلِهِ وَماَ يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّناَ وَماَ يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو الأَلْباَبِ

“Dia-lah yg menurunkan Al-Kitab kepada kamu. Di antara ada ayat-ayat yg muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan yg lain mutasyabihat . Adapun orang2 yg dlm hati condong kepada kesesatan mk mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yg mutasyabihat utk menimbulkan fitnah dan utk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tdk ada yg mengetahui ta’wil melainkan Allah. Dan orang2 yg mendalam ilmu berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yg mutasyabihat semua itu dari sisi Rabb kami.” Dan tdk dapat mengambil pelajaran melainkan orang2 yg berakal.”
Kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka jika kamu melihat orang2 yg mengikuti apa yg mutasyabih dari Al-Qur’an merekalah yg disebut oleh Allah. mk jauhilah mereka!”
Dan kita maklum bahwa ahli bid’ah itu tdk kosong dari kebaikan. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tdk memperhatikan dan tdk menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membandingkan para shahabat dgn orang2 Khawarij:

يَخْرُجُ فِيْكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِياَمَكُمْ مَعَ صِياَمِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجاَوِزُ حَناَجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَماَ يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yg kalian meremehkan shalat kalian bila dibandingkan dgn shalat mereka puasa kalian dgn puasa mereka amalan kalian dgn amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tapi tdk melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti lepas anak panah dari sasaran13.”
Telah kita ketahui pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka14 seburuk-buruk bangkai yg terbunuh di kolong langit. Arti mereka ini lbh berbahaya bagi kaum muslimin daripada selain mereka baik itu dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Mengapa demikian? Jawab jelas krn mereka bersungguh-sungguh berusaha membantai kaum muslimin yg tdk sejalan dgn mereka. Mereka halalkan darah dan harta kaum muslimin lain bahkan nyawa anak-anak kaum muslimin15. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yg tdk sefaham dgn mereka dlm keadaan mereka menganggap semua itu adl ibadah utk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala krn parah kebodohan dan kesesatan mereka..”
Terakhir janganlah kita terjerumus dlm kepalsuan orang2 Yahudi. Mereka berselisih dlm urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan bersatu padu. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membantah hal ini dlm firman-Nya:

تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعاً وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى

“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.”
Dan ingat salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adl sebagaimana firman-Nya:

كَانُوْا لاَ يَتَناَهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ

“Mereka satu sama lain selalu tdk melarang tindakan munkar yg mereka perbuat.”
Oleh krn itu apabila kita lihat ada orang yg membantah pendapat atau pemikiran yg menyimpang dari Al Qur`an dan As-Sunnah baik dlm masalah fiqih atau pernyataan-pernyataan bid’ah lain mk syukurilah usaha yg dilakukan sebatas kemampuan itu.
Maka ambillah pelajaran wahai orang2 yg berakal.
Wallahu a’lam.


http://blog.re.or.id/ketika-nasehat-dianggap-celaan.htm

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More